Kurang lebih 30 menit akhirnya kita tiba juga di Desa Bena, saya langsung menuju pos penjagaan untuk mengisi buku tamu. Di sini kita tidak dipungut biaya masuk hanya donasi sukarela saja yang bisa kita masukan kedalam sebuah kotak yang sudah disediakan, di dinding tampak sebuah kertas yang berisi jadwal penjagaan oleh beberapa suku yang mendiami desa bena.
Yang mendiami desa Bena ini ternyata ada sembilan suku yang berbeda yaitu suku Bena, Suku Kopa, Suku Ngadha, Suku Ago, Suku Dizi Azi, Suku Solo Mai, Suku Laiu Lewa, Suku Wato dan Suku Dizi Kae. Menurut pak Joseph dulunya kampung ini adalah sebuah Kapal dengan ukuran 350m X 80m yang kemudian terdampar karena tidak bisa melanjutkan perjalanan lagi karena terhalang oleh gunung Inerie. Begitu memasuki desa Bena saya langsung merasa terlempar kembali kemasa lalu saat masih jaman batu, tampak banyak berserakan alat-alat yang terbuat dari batu. Di depan rumah yang pertama tampak seorang bapak duduk, lalu saya pun menghampiri beliau dan ternyata beliau sangat mengetahui tentang sejarah Desa ini, sambil mendengarkan penjelasan beliau tangan sayapun sibuk untuk mencatat seperti mesin ketik. Dan lagi-lagi separti orang flores lainnya bapak yang bernama Joseph ini bercerita kalau dia punya teman akrab di kalimantan, di nitip salam sama temannya itu. Duh, disangka Pulau Kalimantan kecil kali ya..:-)
Di ujung desa kita bisa menikmati pemandangan Gunung Inerie yang tampak berdiri gagah dan seluruh desa juga terlihat dari sini, di tempat ini sudah dibuat tempat untuk beristirahat. Fasilitas seperti toilet juga sudah ada di sediakan bagi para pengunjung. Di bagian tengah kampung yang berundak tampak batu-batu yang berbentuk aneh-aneh seperti dari jaman dahulu. Mirip seperti desa di Galia yang ada di komik “Asterix dan Obelix”. Puas berkeliling di Bena saya kembali ke kota Bajawa untuk melanjutkan petualangan saya.Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, sedangkan kaum perempuan mengisi waktu dengan menenun di depan rumah, ada juga yang menjual biji vanili dan oleh-olah khas flores seperti kain tenun ikan hasil buatan mereka sendiri, ada yang berbentuk kain yang harganya sekitar Rp. 300.000 sampai syal yang berharga Rp. 75.000. dan semuanya “hand made”.Ada beberapa rumah yang tampaknya masih baru, baru sekitar dua bulan lalu dibangunnya, namun tetap dalam bentuk seperti rumah tradisional seperti yang ada di kampung Bena yang lainnya. sayapun tak lupa untuk sekedar melihat seperti apa bentuk dalam rumah mereka, setelah minta izin dari seorang penduduk yang juga pengurus koperasi di sana saya pun masuk ke dalam, hanya ada dua ruangan di dalam rumah, yang pertama digunakan untuk beristirahat dan menerima tamu sedangkan ruangan yang kedua digunakan sebagai dapur, dan tentunya dapur yang tradisional juga dengan bahan bakar dari kayu, tampak juga alat masak seperti kuali yang digunakan untuk memasak.Yang membuat saya betah di Kampung Bena adalah keramahan warganya, mereka selalu tersenyum dan mengucapkan selamat pagi kepada setiap orang yang ada di sana. Tak lupa saya berinteraksi dengan mereka, dua orang nenek yang sedang duduk di depan rumah sangat bersahabat ketika saya ajak ngobrol, sayangnya mereka juga tidak tahu arti dari ukiran yang ada di teras depan rumahnya ketika saya tanyakan, katanya itu sudah tradisi turun temurun.Masyarakat Bena menganut sistem matrirkat, yaitu posisi perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Ketika seorang laki-laki dan perempuan dari desa tersebut menikah maka mereka harus tinggal di rumah keluarga perempuan, untuk membedakan antara rumah keluarga laki-laki dan perempuan kita bisa melihat dari boneka yang ada di atas atap, di keluarga laki-laki bonekanya memegang tombak sedangkan keluarga perempuan di atas atapnya ada sebuah miniatur rumah kecil. Di depan rumah tampak terlihat tengkorak kerbau dan tulang seperti iga dan rahang hasil upacara adat yang telah dilakukan, semakin banyak tengkorak kerbau berarti semakin sering pemilik rumah tersebut melakukan upacara.
Mile says:
thanks foir the info
Candice says:
thanks for the info